Generasi milenial dianggap masih belum melihat pentingnya berinvestasi khususnya di sektor properti. Disebut ada banyak alasan yang melatarbelakangi kurang minatnya generasi tersebut untuk memiliki hunian sendiri.
“Kami melihat ada kencenderungan di kalangan generasi millennial bahwa membeli properti itu adalah suatu hal yang mustahil atau tidak penting,” ujar Hendro S. Gondokusumo, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Properti.
“Padahal, seiring dengan perkembangan inovasi di kalangan pengembang properti, perbankan, dan teknologi, membeli atau berinvestasi properti bukanlah suatu mission impossible, atau tidak bisa dicapai sama sekali,” imbuhnya.
Beberapa tantangan utama berinvestasi properti yang ramai beredar di kalangan milenial adalah dana besar, prosesnya ribet, hingga khawatir akan penipuan. Berikut mitos-mitos yang telah dirangkum oleh rumah.com:
1. Butuh Modal Besar
Besarnya biaya hidup yang tidak seimbang dengan penghasilan, membuat milenial merasa membeli rumah adalah hal yang sulit. Terlebih kenaikan harga rumah lebih cepat ketimbang kenaikan gaji. Dan hal tersebut tidak sepenuhnya salah.
Akan tetapi sama seperti produk investasi lainnya, ada banyak skema pembiayaan untuk membeli rumah. Terpenting yang harus dilakukan milenial adalah membuat rencana keuangan yang tepat agar bisa mewujudkan impian itu.
Sebagai contoh, Joni bisa membeli sebuah rumah dengan luas bangunan 60m2 dan luas tanah 90m2 seharga Rp400 juta di Kota Depok, Jawa Barat.
Untuk ukuran karyawan swasta berpenghasilan sekitar Rp8,5 juta per bulan dan berbekal uang muka Rp160 juta, ia bisa memiliki rumah tersebut di usia 26 tahun.
Sejak bekerja di usia 21 tahun dengan pendapatan awal sekitar Rp 5 juta/bulan, Joni mulai menyisihkan sekitar 30% dari gajinya untuk mempersiapkan uang muka kredit rumah.
Sejalan dengan kenaikan jabatan dan penghasilan, dalam waktu lima tahun Joni mampu berinvestasi properti. Ini boleh jadi pembuktian bahwa milenial harus mampu berpikir taktis dan menyusun rencana keuangan yang baik agar bisa memiliki rumah idaman.
Apalagi Pemerintah dan sejumlah pengembang sudah cukup membantu dalam penyediaan hunian dengan harga terjangkau, seperti rumah subsidi atau hunian berbasis Transit Oriented Development (TOD) yang terletak di beberapa stasiun KRL atau MRT.
“Generasi milenial harus secepatnya mengambil keputusan untuk membeli hunian. Semakin muda usia saat membeli rumah, maka akan semakin baik. Belilah rumah di saat belum banyak tanggungan,” jelas Marine Novita, Country Manager Rumah.com.
2. Tidak Sanggup Bayar DP-nya
Bagi generasi milenial, masalah harga beli hunian memang menjadi kendala, salah satunya adalah uang muka. Meski Pemerintah telah menurunkan besaran uang muka hingga tinggal 15% untuk pembelian rumah pertama.
“Jika nilai ini dirasakan masih terasa besar bagi sebagian kalangan, masih ada solusi lainnya. Banyak pengembang yang memberikan bantuan atau promo uang muka hingga 5% atau uang muka yang bisa dicicil. Ini bisa sangat membantu para pencari rumah khususnya bagi generasi milenial,” kata Marine.
Untuk pendanaan pembelian hunian, generasi milenial bisa memanfaatkan skema pembiayaan seperti KPR, baik dari bank komersial yang sudah begitu banyak ragamnya maupun dari BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK).
KPR dari BPJSTK ini bisa dimanfaatkan oleh para karyawan yang telah terdaftar menjadi peserta aktif BPJSTK selama minimal satu tahun dan belum memiliki rumah pertama.
3. Rumah = Investasi Tidak Likuid
Rumah merupakan investasi yang tidak dapat segera diubah menjadi uang kas setiap saat. Dibutuhkan waktu agar sebuah properti bisa menjadi mesin uang dengan mempertimbangkan lokasi dan harga pasar.
Namun properti merupakan salah satu investasi yang tergolong aman dengan kenaikan harga yang cenderung stabil. Properti yang dibeli pada tahun 2016 dengan harga Rp400 juta, harganya saat ini bisa mencapai Rp600 juta atau naik sekitar 50% dalam waktu dua tahun.
“Tetapi perlu diingat bahwa investasi properti harus ditempatkan dalam konteks jangka panjang. Selain itu, jangan ragu untuk membeli rumah di lokasi yang agak jauh dari perkotaan. Karena suatu saat pasti akan berkembang,” Hendro mengungkapkan.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang bertahan di atas 5% per tahun, pembangunan di kawasan pinggiran diprediksi akan ikut berkembang. Apalagi, Pemerintah saat ini tengah gencar membangun infrastruktur yang sangat mendorong roda perekonomian secara cepat.
Selain itu, investasi tidak hanya dapat diartikan membeli produk lalu menjualnya kembali di harga lebih mahal. Investasi bisa juga dilihat sebagai produk yang menghasilkan pendapatan ‘berkelanjutan.
Contohnya membeli rumah untuk disewakan, dijadikan kos-kosan, atau mengikuti perkembangan teknologi saat ini, rumah juga dapat dijadikan sebagai penginapan,” tukas Hendro.
4. Takut Berutang
Sebelum membeli rumah, memang penting untuk melihat risiko dan keuntungan yang ditawarkan oleh setiap pengembang dan bank. Selama masih mempunyai gaji, ketakutan tidak bisa membayar adalah kecemasan yang sama sekali tidak berasalan.
Sama seperti memulai usaha, membeli properti juga membutuhkan modal. Oleh karena itu, tidak ada salahnya mengandalkan perbankan atau jasa pembiayaan lainnya melalui KPR atau KPA.
Apalagi saat ini bunga kredit cenderung turun, sehingga merupakan saat yang tepat untuk membeli properti.
5. Prosesnya Ribet
Membeli properti sebenarnya bukan sesuatu proses hidup yang sulit. Mengingat para pengembang pada umumnya sudah sangat membantu dan memfasilitasi berbagai macam pengurusan dokumen dalam pembelian properti.
“Sangatlah wajar jika dalam proses pencarian hingga mengambil keputusan membeli rumah, generasi milenial ini kadang-kadang mengalami keraguan, terutama jika melihat harga rumah yang mencapai ratusan juta rupiah dan rumitnya proses transaksi pembelian yang diperlukan.
6. Takut Ditipu
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menghindari penipuan adalah dengan memperbanyak informasi. Ketika memutuskan untuk membeli rumah, pastikan sudah mengetahui berbagai macam skema dan konsekuensi terburuk dari sebuah pilihan.
Jangan mudah tergiur dengan iming-iming dan janji-janji tidak jelas, seperti harga unit yang terlampau murah atau diskon besar-besaran. Dengan internet, informasi bisa didapatkan dengan mudah.
7. Prinsip YOLO (You Only Live Once)
Punya properti menurut sebagian milenial bukan kebutuhan utama. Melainkan gaya hidup seperti fesyen, F&B, traveling, pendidikan, dan komunitas.
Rumah dan tempat tinggal kemungkinan ada di urutan buncit, bukan sesuatu yang penting atau mendesak untuk diwujudkan. Prioritasnya difokuskan untuk menikmati hidup, seperti traveling dan mendapatkan pengalaman baru dan lainnya.
Hidup memang cuma sekali dan mempersiapkan hidup nyaman harus dimulai sedini mungkin. Tidak ingin kan sampai umur 40 tahun sudah sudah berkeluarga masih tinggal bersama orangtua?
Maka dari itu, properti merupakan investasi yang sangat penting. Kepemilikan properti juga erat dengan kaitannya dengan kebebasan khususnya finansial.
Share